Tiap umat mempunyai qadhiyyah mashiriyyah, yang untuk menyelesaikannya, mereka rela mengorbankan nyawanya, tanpa sedikit pun ragu. Tidak perlu diskusi atau perdebatan. Qadhiyyah mashiriyyah tiap bangsa atau umat berbeda-beda sesuai dengan pandangan hidupnya. Hanya saja, kuat dan lemahnya pemahaman Islam, ikut menentukan kuat dan lemahnya sikap seorang Muslim terhadap qadhiyyah mashiriyyah ini, tidak terkecuali bagi seorang kepala negara.
Al-Mu’tashim (218-227H/833-842 M), Khalifah ‘Abbasiyyah, pengganti al-Ma’mun dikenal sebagai Khalifah yang sangat tegas dan berwibawa. Ketegasan dan wibawanya itu tampak pada sikapnya terhadap qadhiyyah mashiriyyah yang dihadapi negara pada zamanya. Pada tahun 219 H, misalnya, al-Ma’mun mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk memerangi kelompok Muhammad bin ‘Utsman dan Samlaq, kelompok preman yang membuat onar di Bashrah. Di sana, mereka melakukan perampokan dan membegal. Kelompok preman, perampok dan begal az-Zath ini berhasil ditumpas oleh al-Ma’mun setelah sembilan bulan mereka diperangi, dan ditumpas hingga ke akar-akarnya. Setelah itu, Bashrah pun aman, dan rakyatnya pun terbebas dari teror mereka.
Sikap tegas al-Ma’mun terhadap qadhiyyah mashiriyyah ini juga ditunjukkan, ketika komplotan Babak al-Kharami,la’natu-Llah ‘alaih. Babak awalnya penganut Kristen, berpura-pura masuk Islam. Ibn Katsir menyebutnya sebagaizindiq kabir wa syaithan rajim (zindiq besar dan syaitan yang terlaknat). Pengaruhnya sangat kuat dan tersebar di Azrabaijan. Dia tampak sengaja menyusun kekuatan untuk memberontak (bughat). Komplotan ini membangun benteng, pabrik senjata dan kebutuhan tempur. Tampak sekali, komplotan ini hendak melakukan pemberontakan. Al-Mu’tashim pun tidak main-main. Pada tahun 220 H, beliau mengirim pasukan tempur, dan terjadilan peperangan dahsyat, tidak kurang 1000 pengikut Babak terbunuh. Komplotan ini pun kalah, dan kotanya dihancurkan oleh pasukan al-Ma’mun. Pada tahun 223 H, Babak al-Kharami dan saudaranya, Abdullah, berhasil ditangkap, dan dibawa ke Samara, Irak, ibukota Khilafah pada zaman al-Mu’tashim. Ketika memasuki kota Samara, dia diperintahkan al-Mu’tashim untuk mengendarai gajah, agar dikenal banyak orang. Gajah yang dinaikinya, sengaja dihiasi. Begitu sampai di depannya, al-Mu’tashim memerintahkan untuk dipenggal kedua tangan dan kakinya. Kepalanya dipenggal, dan dibawa ke Khurasan. Tubuhnya disalib di atas kayu di Samara. Selama 20 tahun, dia telah membunuh 2000 jiwa, 1055 dan 500 jiwa kaum Muslim, serta menawan 7900 orang. Setelah komplotan ini berhasil ditumpas, kaum Muslim pun merasa aman dan hidup tenteram.
Pada tahun yang sama, Raja Romawi, Tufail bin Michael, yang semula melakukan konspirasi dengan Babak, dan terlibat memberikan perlindungan kepadanya, menyerang kaum Muslim yang tinggal di Malta dan sekitarnya. Banyak kaum Muslim yang terbunuh, dan ada sekitar 1000 Muslimah yang dijadikan tawanan. Sabagian kaum Muslim yang ditawan, ada yang dicincang tubuhnya; dipotong telinganya, dicongkel matanya, dan begitu seterusnya. Ketika al-Mu’tashim mendengar berita tersebut, beliau sangat marah, dan langsung berteriak di istanannya memerintahkan perang dengan Romawi. Ketika tiba di Zabtharah, Malta, Raja Romawi itu telah kembali ke negerinya. Sang Khalifah agung itu pun bertanya kepada para walinya, “Mana wilayah Romawi yang paling dia lindungi?” Mereka menjawab, “Amuriah. Amuriah belum pernah tersentuh oleh siapapun, sejak zaman Islam. Bagi mereka, Amuriah lebih berharga ketimbang Konstantinople.”
Inilah sikap Khalifah al-Mu’tashim dalam menghadapi qadhiyyah mashiriyyah, tegas dan tidak main-main. Beliau tidak membedakan, apakah yang dihadapi adalah masalah premanisme, perampokan dan begal, atau pemberontakan, ataupun invasi seperti yang dilakukan oleh Romawi. Sebagai qadhiyyah mashiriyyah, semuanya beliau selesaikan dengan serius, tidak main-main, meski taruhannya nyawa. Dengan sikapnya itu, Khilafah pada zamannya pun disegani. (HAR)
No comments:
Post a Comment